Ini adalah cuplikan dari cerita yang saya karang sendiri :
“Selamat, bayi anda perempuan”, kata dokter. Seketika wajah lelaki itu kecewa. Airmuka yang sebelumnya memancarkan kebahagiaan karena sedang menunggu proses kelahiran anak ke-empatnya, seketika berubah menjadi muram. “Anak kita perempuan lagi, Bu”, kata sang suami. Si istri pun mengangguk dengan lemah, kondisi perempuan itu tidak memungkinkan untuk merespon kata-kata suaminya. Dia sekarang sedang sangat ingin beristirahat.
Lelaki itu bermuram durja. Bukannya rasa syukur yang seharusnya dia ucapkan, malahan rasa sangat kecewa yang sekarang berkecamuk di hatinya. Betapa tidak, kehamilan sang istri yang untuk kesekian kalinya tersebut, diharapkan bayi yang dilahirkan adalah seorang anak laki-laki. Sebelumnya, dia sudah sangat optimis akan mendapatkan bayi laki-laki. Berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan seorang bayi laki-laki. Konsultasi ke dokter, minum ramuan tradisional dan sebagainya. Tetapi, takdir berkata lain. Dia mendapatkan bayi perempuan.
Mengapa lelaki itu begitu kecewa sekali ketika mendapatkan anak perempuan untuk kesekian kalinya?. Bukankah lelaki tersebut lahir dari rahim seorang perempuan?.
Seharusnya, kelahiran seorang anak merupakan rezeki yang harus diterima karena sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Apapun jenis kelamin si anak, merupakan amanah dari Allah yang harus dijaga. Kullu mauluudin yuuladu ‘alal fithrah. Sesungguhnya setiap bayi yang lahir adalah suci. Hanya orang tuanyalah yang kemudian akan menjadikannya sebagai seorang yang taat beribadah, seorang yang sholeh, lembut hatinya atau bahkan bisa juga menjadi seorang yang jahat dan tidak baik. Semua itu tergantung dari bagaimana si orang tua itu mendidik.
Memang, posisi seorang perempuan selalu berada di pihak ‘second class citizen’, warga kelas dua. Beberapa ayat dalam Al Qur’an bahkan semakin menguatkan tentang posisi tersebut. Contohnya saja dalam hal pembagian waris. Surat An-Nisa ayat 11 menyebutkan : bagian warisan anak laki-laki sama dengan dua kali bagian anak perempuan, atau dengan kata lain, bagian perempuan sama dengan setengah bagian laki-laki.
Dan ada lagi ayat Al Qur’an yang bikin orang perempuan sesak nafas. Masih di surat An-Nisa, ayat 3 menyebutkan : “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Pada zaman Jahiliyah dulu, menganggap bahwa anak perempuan merupakan sumber sial dan malapetaka dan apabila mereka mempunyai anak perempuan, wajah mereka pun penuh murka. Beberapa dalil yang mengacu pada zaman dahulu, bagaimana kaum Jahiliyah memperlakukan anak perempuannya.
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah ia dibunuh. Dan apabila catatan-catatan dibuka. Dan apabila langit dilenyapkan. Dan apabila neraka Jahim dinyalakan. Dan apabila surga di dekatkan. Maka, tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan”. (QS. At-Takwiir 8-14)
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”. (QS. An-Nahl 58-59)
Sesungguhnya, Allah SWT menciptakan makhlukNYA berpasang-pasangan. Ada lelaki dan perempuan. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”. (QS. Adz Dzaariyaat 49). Memang, manusia pertama kali diciptakan bukanlah perempuan tetapi laki-laki, yaitu Adam. Ketika Adam mengeluh kesepian, Allah lalu mengambil sepotong tulang rusuk Adam dan dijadikanlah Hawa. Entahlah, apa karena hal tersebut, kemudian hingga kini maka kaum perempuan hanya dijadikan sebagai pelengkap, the second class citizen di dunia atau karena faktor lain. Tapi, perjalanan sejarah perempuan yang penuh perjuangan, nyatanya tidak cukup mengubah konstruksi yang sudah mengakar di kepala manusia, bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan selalu berada di posisi kedua.
Dalam budaya jawa, seringkali perempuan dikonsepkan sebagai 'rencang wingking', hanya boleh berada ‘dibelakang’. Sebagian besar masyarakat jawa juga menjadikan anak perempuan sebagai among dalam keluarga, yaitu dapat mengemban tanggungjawab yang di bebankan kepadanya. Terutama tanggungjawab dalam hal-hal yang berkenaan dengan rumah tangga. Seperti menjaga adik-adiknya, membereskan rumah dll. Ketelitian seorang perempuan juga sangat di butuhkan dalam memandang hidup sehari-hari.
Pada hakekatnya, keberadaan seorang perempuan tidak boleh diremehkan. Melalui merekalah lahir manusia-manusia yang akan menjadikan dunia ini bermacam-macam, penuh warna. Ada yang menjadi pemimpin, pengusaha, ilmuwan, professional dll. Tidak sepatutnya seseorang menjadi kecewa karena memiliki anak perempuan, apalagi berjumlah banyak. Ambil positifnya saja bahwa kelak nanti akan dapat membantu mengatur rumah tangga dan menjadi penjaga ketika umur sudah tua. Dan yang lebih penting lagi, dapat selalu mendoakan orang tuanya.
Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaama…