Pernahkah kita perhatikan, semakin sibuk kehidupan yang kita jalani, semakin kosong rasanya hati???...
Suatu pagi pada hari Senin, saya memandangi agenda kerja. Banyak sekali acara rapat, deadline dan project-project yang semuanya itu seolah-olah berbalik menatap saya, memenuhi indera dan menuntut perhatian saya. Dan untuk kesekian kalinya saya berfikir, apa arti semua ini sebenarnya?.
Orang zaman sekarang, kadang sulit untuk memilah waktu, bagaimana supaya selalu bermanfaat, baik buat dirinya maupun orang lain. Saya bekerja, niatnya Fastabiqul Khoirot saja. Alhamdulillah, saya diberi nikmat rizki yang cukup oleh Allah.
Akhir-akhir ini, saya lagi 'kelingan' sama Nenek saya, ibu dari ibu saya, dan saya memanggilnya dengan sebutan 'Emak'. Alhamdulillah, saya sempat beberapa saat 'menangi' Emak. Saya masih kecil saat itu, belum dewasa dan belum banyak mengerti apa itu hidup. Semua nasehat Emak pada waktu itu, jarang saya hiraukan, apalagi masukin hati.
Emak saya hanyalah lulusan SR (sekolah rakyat zaman Belanda dulu). Tapi dia punya banyak sekali kebijaksanaan yang sederhana. Sepanjang hidupnya, dia selalu membangkitkan semangat orang-orang, baik keluarganya maupun teman-temannya.
Emak memang tidak intelek, tapi di mata saya yang pada saat itu masih seorang anak kecil, dia seperti perwujudan Ibu Peri. Seolah setiap kegiatan bersamanya, menjadi suatu peristiwa penting yang patut dirayakan. Saat mengenang semua itu, saya sadari bahwa masa itu adalah masa yang berbeda. Saat itu, canda ria, suka duka, sedih gembira, memainkan peranan penting.
Saat-saat makan merupakan hal yang penting bagi Emak. Hidangan untuk sarapan, mesti selalu panas dan mesti dilakukan sambil duduk bersama-sama di meja makan oval kesayangan Emak. Sepanjang hidupnya, Emak selalu memenuhi kebutuhan keluarganya sampai hal yang paling mendasar.
Suatu hari, saat saya mampir di sebuah restoran untuk membeli makanan, kenangan saya kembali melayang ke rumah Emak. Di ruang makan, terdapat meja tua dari kayu jati. Diatas meja, terhampar selembar taplak meja sederhana yang sudah lusuh dan banyak noda bekas makanan sebelumnya. Tidak jauh dari meja itu, terdapat tungku yang diatasnya selalu tersedia panci sup dan beberapa wadah berisi makanan. Kemudian saya berfikir, umur saya sudah lebih dari 30 tahun, tapi belum pernah membuat makanan selezat masakan Emak.
Ketika saya mudik, saya sempatkan untuk mengunjungi rumah Emak. Saya memeriksa gudang dan mencari kotak yang sudah lama tersimpan di situ. Tidak sulit mencari benda tersebut. Lakban perekatnya yang sudah tua sangat mudah di lepaskan. Saat membukanya, saya temukan sebuah piring kristal antik dan mangkuk keramik kuno berikut tutupnya yang masing-masing di bungkus dengan kertas koran. Dengan hati-hati saya buka mangkuk tersebut, dan saya temukan sepucuk surat yang sudah sangat lusuh.
Perlahan saya baca surat yang sepertinya ditulis oleh tangan Emak sendiri ;
Cucuku sayang...
Aku tau, kau akan menemukan surat ini suatu hari nanti, bertahun-tahun dari sekarang. Saat engkau membacanya, ingatlah bahwa aku sangat menyayangimu. Sebab pada saat itu, aku sudah berada di tengah malaikat, dan aku tidak akan bisa menyampaikan rasa sayangku lagi padamu secara langsung.
Sejak dulu, kau selalu keras kepala, begitu gesit dan selalu tergesa-gesa ingin cepat dewasa. Sering aku berharap bisa menahanmu sebagai bayi selamanya. Kalau kau sudah berhenti berlari, kalau sudah waktunya bagimu untuk memelankan langkah, kuminta kau selalu menyebutku dalam doamu, belajarlah untuk memasak dan menjadikan rumahmu tempat yang nyaman untuk tinggal.
Berikut ini, aku lampirkan resep sup favoritmu, yang biasa kubuatkan untukmu ketika kau masih kecil.
Ingatlah, aku sayang padamu dan kasih sayangku selalu abadi selamanya.
Saya duduk membaca surat itu berulangkali. Karena saya tidak cukup menghargai Emak saat beliau masih hidup. Malam itu, saya biarkan tas kerja tetap terkunci dan membiarkan segala masalah menanti diluar sana. Harusnya saya merasa telah diberi kenikmatan dengan suatu warisan yang indah, tapi saya belum pernah meneruskan warisan itu......