27 Juni 2008

Dalam hati saja

Sebenarnya, saya termasuk orang yang paling tidak bisa menyimpan sesuatu dalam hati. Bukannya ember, selain hal itu bikin sesak, saya memang nggak bisa tahan. Hanya benar-benar close person saja yang bisa saya ceritain apa yang sedang terjadi dalam diri saya saat itu, kemarin dan entah kapan. Pokoknya, uneg-uneg atau apa saja, enak nggak enak yang tersimpan dalam hati, harus keluar as soon as possible. Tentu saja setelah melalui proses refleksi diri, nggak asal goblek. Biasanya, suami saya adalah orang pertama yang saya curhati.
Akhir-akhir ini, entah kenapa, saya tidak bisa. Diupayakan bagaimanapun, saya tetap tidak bisa. Sepertinya ada sekat yang dalam yang menghalangi saya untuk mencurahkan isi hati dan perasaan. Saya jadi males ngomong, nggak mau ambil pusing dan cenderung menyibukkan diri agar yang ada di hati bisa lewat dan lupa, nggak mau saya pikirin. Ujung-ujungnya, kepala saya jadi sering pusing, sulit tidur dan tampang saya terlihat amat lelah.
Memang sih, yang terjadi adalah saya sangat (sok) sibuk mengerjakan apa yang kira-kira bisa dikerjakan. Positifnya, saya jadi produktif. Ide-ide baru bermunculan, ringan saja dan bisa di terima orang banyak.
Kadang, sesuatu hal yang tidak mengenakkan bisa memacu seseorang menjadi produktif. Pengalaman juga bisa menjadikan seseorang lebih tau dari yang sebelumnya tidak tau. Kematangan diri muncul akibat dari berbagai pengalaman yang dialami dalam hidup.
Ada beberapa hal yang saat ini benar-benar terpendam dalam hati saya. Semoga tidak menjadi karat. Saya sedang berusaha mencari titik terang solusinya. Tapi saya ogah-ogahan, karena ya itu tadi, saya nggak mau mikirin, tapi harus dipikirn. Saya harus tegar, meskipun harus berpura-pura. Dan yang terjadi, saya harus menyibukkan diri supaya yang tadinya harus dipikirin, saya nggak gitu mikir lagi. Tetap saja nggantung. Saya pun berkesimpulan, lebih baik diam daripada capek mikirin apa yang terjadi.
Haruskah egois?, haruskah benci?, haruskan mengeluh terhadap apa yang saya alami?. Kadang saya punya pikiran jahat, biar saja orang-orang yang menyakiti saya nanti suatu saat akan tersakiti. Bagaimana menilainya bahwa orang tersebut menyakiti saya?. Mungkin saja dia berbuat begitu karena perbuatan saya yang tidak menyenangkan?. Lalu, kenapa harus benci?.
Biarlah saya simpan dalam hati saja. Just wait and see what will happen...

24 Juni 2008

Inna ma'al 'usri yusroo

Sesungguhnya setelah kesulitan, pasti ada kemudahan. Sama saja seperti anak sekolah, kalau mau naek kelas, harus ikut ujian dulu. Dan kalau mau dapat nilai tinggi, harus giat belajar. Dan agar giat belajar, harus pandai-pandai mengatur waktu.
Kejadian-kejadian tersebut, saat ini terkondisikan kepada saya. Ada rasa lelah, menghadapi ujian dan cobaan. Tapi ada juga rasa syukur dan senang ketika saya mendapatkan banyak "hadiah", dan itu datangnya langsung dari YANG DIATAS, yang sudah mendengar do'a-do'a saya selama ini. Saya adalah nominasi yang harus mendapatkan "hadiah", tapi sebelumnya harus melewati berbagai ujian dan rintangan. Kalau saya sabar dan berhasil menghadapinya, berarti saya "lulus".
Kalau boleh nawar, saya maunya "lulus" dan dapat "hadiah", tapi saya nggak mau ujian. Capek. Karena ujian yang datang ke saya saat ini, bukan seperti saat sekolah dulu, yang kalau nggak faham dan nggak ngerti pelajaran, saya bisa nanya ke guru atau ibu. Ujian saya sekarang ini, benar-benar harus dihadapi sendirian, mencari solusi dan menikmati kesabaran ya sendirian juga. Suami, ortu, teman, hanya sebagai penggembira saja. Tidak banyak membantu. Karena, ini adalah ujian kehidupan, menyangkut batin, emosi dan -kalau boleh dibilang- tekanan. Semua itu adalah pelajaran hidup. Tidak pernah didapat di bangku sekolah.
Hidup berjalan layaknya air yang mengalir dari hulu ke hilir. Sepanjang perjalanan, akan ditemui batu, kotoran, pasir dan berbagai macam hambatan. Tapi, harus tetap mengalir, sampai tercapai ke tujuan.
Saya sedang mendapatkan BANYAK "hadiah". Darimana?, yang pasti dari Yang DIATAS. Beberapa aplikasi saya untuk mengikuti course ke luar negeri, (Alhamdulillah) banyak disetujui. Dan itu datangnya bertubi-tubi, BUKAN silih berganti. Sampai, hampir saya menolak salah satunya. Teman saya komentar, "aneh deh lu, orang pada pingin dapet kesempatan seperti ini, malah lu yang udah jelas-jelas dapet kok nolak". Banyak juga yang komentar, "enak banget ya bisa liat negara orang secara gratis". BETUL,,,!!! enak kalau begini. Tapi... apakah mereka tau, sebelum saya mendapatkan semuanya itu, saya harus melewati ujian yang sangat-sangat berat?.
Karena seringnya saya mengalami kejadian seperti itu, akhirnya ketika saya mengalami hal yang menurut saya adalah suatu "ujian", maka saya akan berbaik sangka bahwa setelah ini PASTI ada kenikmatan yang datang kepada saya. Dan ndilalah, perkiraan tersebut tidak pernah meleset. Saya pun menikmati ritme kehidupan seperti itu, walaupun sangat melelahkan.
Jujur saja, sebenarnya saya KURANG BANYAK berdo'a kepada NYA. Tapi, kog DIA terus menerus memberi saya "hadiah" ya?. Gimana kalau saya banyakin do'a?, banyakin minta?.
Dalam hati saya juga bertanya, kenapa juga DIA ngasih "hadiah" setelah saya mendapatkan "ujian?". Apakah saya sudah pantas untuk mendapat nominasi seperti itu?. Saya masih banyak mengeluh, masih kurang bisa sabar dan masih terlalu lemah untuk menghadapi "ujian" hidup. Dan saya akan mudah sombong, berbangga diri dan angkuh ketika saya menerima "hadiah".
Inna ma'al 'usri yusro...

16 Juni 2008

Yang muda, yang bergaya

Secara sering nonton tivi, akhirnya saya sering mengamati berbagai acara di tivi. Bukan hanya acaranya saja yang saya amati, tapi berbagai macam perkembangan informasi, tingkah laku, mode, gaya rambut, gaya bicara para artis muda yang tampangnya sering bermunculan di layar kaca. Saya lagi seneng merhatiin tingkah mereka yang dengan gaya dan ciri khas tertentu, mendominasi layar kaca.
"Mana becek, ngga ada ojek", begitulah gaya bicara hot artis muda Cinta Laura. Dengan logat 'ke bule-bule an' (dan she's really bule). Entah karena memang gaya bicara dia modelnya begitu atau dibuat-buat secara dia artis, tapi saya seneng dengernya.
Ada Giring Nidji, dengan gaya nyanyi nya yang loncat sana loncat sini, tapi saya suka. Memang, ngliat dia kayaknya bikin capek dan saya juga mikir sekaligus kasian, mau dapet duit aja kok pake loncat-loncatan gitu. Tapi itu memang gaya dia, fresh dan bisa bikin semangat. Saya suka. Ada juga gaya Ruben Onsu yang ceplas ceplos, walau cenderung kasar. Tapi dia bisa membuat segar suasana. Dan yang unik, gaya ala The Changcuters, gila abiiis. Tampangnya yang blo'on, bisa bikin orang menyangka bahwa mereka blo'on beneran...
Sepertinya mereka punya tingkat ke-pede-an yang sangat tinggi. Nggak papa, bagus. Mereka bisa mengekspresikan apa yang mereka punya. Dan ndilalah, mereka bisa mendapat tempat di hati orang banyak. Sangat sulit untuk dapat ber-ekspresi, belum lagi demam panggung, nervous... wah, itu kendala utama agar bisa tampil di depan khalayak.
Dari perspektif komunikasi, sebagai penyampai pesan, para artis dan aktor harus mempunyai kemampuan khusus agar pesan yang disampaikan bisa sampai dan diterima oleh khalayak. Bakat hanya sepersekian persen saja, karena kalaupun ada bakat tapi nggak pernah diasah, sama saja seperti pisau, akan jadi kethul.
Saya tidak pandai dalam menilai orang, saya hanya bisanya komentar saja. Padahal, paling sebel kalo dikomentari apalagi kalau menyangkut hal yang negatif.
Pada dasarnya setiap manusia diciptakan berdasarkan kodratnya.....

15 Juni 2008

Apa yang saya cari?

Seminggu yang lalu, saya melakukan General Check Up, secara memang sudah lama saya nggak check up. Jum'at kemarin hasil nya sudah siap dan saya konsultasikan ke dokter. Alhamdulillah nggak ada yang serius pada hasil lab tersebut, hanya saja dokter memberi kesimpulan bahwa 'hati saya terlalu capek', eh?... So funny...
"Hati anda terlalu capek, sebaiknya anda melakukan istirahat yang cukup. Istirahat disini bukan hanya dalam artian fisik, tapi cobalah anda mengistirahatkan pikiran anda, rileks, jangan ada sesuatu yang dijadikan beban", begitulah kata dokter. "Metabolisme tubuh anda tidak bagus karena sepertinya anda terlalu lelah", begitu lanjut dokter. Saya pun bengong, nggak nyangka akan mendapatkan penjelasan seperti itu. Hebat, bahwa 'hati yang capek', bisa terdeteksi sedemikian rupa.
Saya menyadari itu, menyadari bahwa ada yang lelah pada diri saya yang tidak pernah saya rasakan. Selama ini, saya selalu mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawab dan pekerjaan saya, dan saya merasa enjoy, asyik, dan sangat nikmat apabila suatu pekerjaan itu berhasi dan sesuai target. Saya juga tidak pernah itungan, berapa rupiah yang akan saya dapatkan jika saya sedang mengerjakan sesuatu. Kalau mengasyikkan buat saya, akan saya lanjutkan, nggak ada pikiran macam-macam.
Lalu, sebenarnya apa yang saya cari?.
Sampai detik ini, tidak pernah saya dapatkan jawabannya, jawaban yang sesungguhnya. Saya hanya seseorang yang sangat biasa, yang tidak mau terlalu bermimpi untuk mengharapkan sesuatu yang muluk-muluk. Biarlah hidup saya ini mengalir seperti air dan udara, bermanfaat untuk semua orang. Alhamdulillah, sekarang saya sedang mendapatkan 'posisi nyaman' dalam siklus kehidupan. Jadi, biar saja 'kenyamanan' ini agar bisa dirasakan oleh orang-orang yang menyayangi saya.
Sampai kapan?
Nggak tau... Saya hanya ingin bermanfaat untuk ummat, sesuai do'a orang tua saya, yang selalu bilang dalam do'a nya "semoga anak saya bisa bermanfaat untuk semua orang".
Apakah yang saya lakukan selama ini adalah salah?.
Setiap orang pasti punya rasa tidak puas dan selalu ingin sempurna. Padahal, kesempurnaan hanyalah milik Allah. Kadangkala, ketika saya disalahkan orang, saya sedih. Itu manusiawi. Karena saya merasa melakukan semuanya, nggak itungan. Jadi kalo ada orang nggak menghargai apa yang telah saya kerjakan, pasti sedih.
Terus, apakah saya merasa sudah melakukan semuanya dengan baik?
Nggak juga, kalo saya sudah merasa baik, berarti nggak ada keinginan saya untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas diri saya untuk menjadi lebih baik.
Jadi, apa sesungguhnya yang saya cari?
Wa maa tasyaauuna illaa an yasyaa'allahu robbul 'aalamiin. "Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam". (At Takwiir 29)

09 Juni 2008

Adilkah ini cinta ?

Saya sedang senewen, mendapat kabar dari sekolah anak saya yang 'nun jauh disana', bahwa nilai rata-ratanya turun. Dan saya juga sedih ketika mendengar bahwa sakit yang diderita anak saya tak kunjung sembuh.
Sebagai seorang ibu, naluri saya langsung bereaksi, walaupun sedikit banyak diwarnai oleh emosi. Saya langsung protes kepada suami, agar anak kami untuk sementara dipulangkan saja dan jangan dipaksa meneruskan sekolahnya yang 'nun jauh disana', sampai dia benar-benar siap. Saya pun menghubungi anak saya, dengan nada kecewa, saya menyampaikan bahwa kalau tidak ada kemajuan dalam 3 bulan kedepan, lebih baik pulang saja. Jangan dipaksakan, toh menuntut ilmu bisa dimana saja dan kapan saja, "utlubil 'ilma minal mahdi ilallahdi".
Ternyata, baik suami maupun anak saya bereaksi negatif terhadap pernyataan saya tadi. Anak saya bilang ke papanya : "mama kok gitu sih, nggak mendukung mas, padahal mas kan pengen kayak papa dan ada temen mas yang lebih parah tapi mamanya nggak nyuruh pulang". Suami saya pun tak kalah keras, dia malah menuduh bahwa saya "menggembosi" dan bukannya malah mendukung. Astaghfirullah...
Saya langsung protes atas tuduhan-tuduhan itu. Demi Allah, tidak ada sedikitpun maksud saya untuk melakukan aksi "boikot" atas pilihan anak saya untuk studi. Bagaimanapun, yang namanya orang tua, ingin agar anak-anaknya menjadi lebih baik dari orang tuanya.
Sebagai seorang ibu, dimanapun berada, pasti mempunyai perasaan yang sangat peka terhadap kejadian apapun yang menimpa anak-anak. Begitupun saya, ketika mendapat laporan yang kurang baik tentang anak-anak, naluri keibuan akan secara refleks tersirat dalam benak pikiran. Saya pikir, sangat wajar apabila saya sampai mengungkapkan protes tentang ketidaknyamanan anak saya tersebut. Ini dilakukan karena saya sayang dan cinta sama anak saya. Tapi, kenapa mereka (anak saya dan papanya) tidak memahami rasa cinta yang saya miliki?. Haruskah mereka memaksakan bahwa hanya cinta mereka saja yang bisa dirasakan?.
Adilkah ini cinta?.....
Harusnya mereka bisa memahami perasaan saya sebagai seorang ibu. Karena hanya CINTA dan DO'A yang saya punya untuk kebaikan semua orang yang saya cintai dan sayangi. Tapi, apakah mereka (orang-orang yang saya cintai dan sayangi) merasakan akan hadirnya cinta tersebut?.
Adilkah ini cinta?.....

07 Juni 2008

Masih ada orang baik (lagi...)

Setelah kejadian "kesenggol maut" seminggu yang lalu, saya terus menerus istighfar. Kejadian tersebut membukakan mata saya, bahwa ternyata masih ada orang baik di dunia ini, khususnya di Ibukota Jakarta. Saya nggak nyangka... Entah karena saya nya yang selalu su'udzon atau aware, sehingga saya sering nggak percaya sama orang.
Sampai detik ini (dan sampai kapan?), saya nggak tau dan nggak kenal siapa orang baik, yang ngeboncengin saya pakai motor, menghalau kemacetan Jakarta menuju RS Medistra dan menjadikan saya (Alhamdulillah) masih bisa bernafas sampai saat ini. Disamping rencana dan takdir Allah, kalau nggak ada 'orang yang baik hatinya itu', nyawa saya pasti sudah melayang.
Kenapa saya langsung menilai bahwa orang itu adalah orang baik?. Bayangkan saja, dalam kondisi macet, saya yang bermobil, tiba-tiba membuka kaca dan tanpa basa-basi meminta tolong kepada pengendara motor yang ternyata 'orang yang baik hatinya itu', "pak... tolong... saya sesak nafas". Orang itu, dengan menggunakan helm tertutup dan penutup hidung, langsung saja mengiyakan.
Kenapa ya?, siapa dia?.........
Padahal, pada masa sekarang ini, banyak cara yang dilakukan orang jahat untuk mencelakai korbannya. Tapi, 'orang yang baik hatinya itu' secara spontan langsung mengiyakan permintaan saya... Subhanallah wa Alhamdulillah... dan terimakasih bahwa dia juga telah menganggap saya sebagai orang baik sehingga dia mau menolong saya. Seandainya saja dia menyangka bahwa saya orang jahat, pasti dia akan menolak menolong saya.
Siapapun dia, saya hanya bisa mendo'akan setiap saat. Dan saya pun berani menjamin bahwa dia akan mendapatkan sorga, karena dia telah membuktikan kepada saya bahwa masih ada orang baik......

05 Juni 2008

Timeless

Saya sedang menikmati sore, di sebuah perumahan kampung, dipinggir sawah di suatu daerah di pinggiran kota berjarak sekitar 150km dari Jakarta. Angin sepoi-sepoi membelai dari dua pohon mangga yang berdiri kokoh di di hadapan saya. Nikmat, sungguh nikmat. Sementara bocah-bocah berlarian di lapangan rumput yang terhampar, dedaunan beterbangan mewarnai kegembiraan para bocah. Penjual bakso, somay, mie ayam, es tungtung, gethuk lindri, juga ikut meramaikan suasana…

Secangkir teh cap Tjatoet manis hangat dan singkong rebus gula jawa, menemani saya saat ini. Udara terasa segar, walaupun sedikit banyak debu beterbangan, mampir di kening saya. Para tetangga melakukan aktivitas rutin, menyiram tanaman, menyuapi bayi, memberi makan ayam… Sungguh alami…

Saya pun terbuai, terlena dalam alunan suasana… Walaupun rumah saya di Jakarta berhalaman rumput sangat luas dan pepohonan besar nan rindang menghiasi, tapi saya tidak pernah merasakan sedamai seperti saat ini. Suasana metropolitan telah mendominasi lingkungan kehidupan saya.

Di hadapan saya, beberapa saudara sedang asyik bercerita tentang aktifitas sehari-hari mereka. Saling berbantah, bercanda, mengolok, mengejek. Berbeda sekali dengan rutinitas saya sehari-hari. Sepulang kantor, saat hendak bersantai, alarm berdering, mengingatkan saya akan berbagai hal yang akan dikerjakan dan harus diselesaikan. Belum lagi telepon dari rekan dan kerabat yang hanya just to say hello atau teman yang menyiarkan hot gossip…

Aaah… kapan?, kapan saya akan mengalami waktu seperti saat ini ketika nanti saya kembali ke Jakarta?.

Berusaha menikmati apa yang sudah digariskan Allah, adalah bentuk mensyukuri nikmat. Ketika seseorang tidak mampu bersyukur, berarti nikmat sudah dicabut dari dalam dirinya…

04 Juni 2008

Kesenggol maut

Saya baru saja mengalami kejadian yang sangat mengerikan.............
Hari Kamis kemarin, ketika saya mengantar suami ke dokter gigi di daerah Pluit, tiba-tiba di tengah-tengah jalan tol daerah Tebet, saya terserang sesak nafas hebat. Leher saya seperti tercekik, seperti ada yang mengalungkan rantai yang sangat besaaar... Sumpah, saya sesak nafas. Belum pernah saya mengalami kejadian seperti ini sebelumnya. Dan, saya tidak punya riwayat penyakit asma, jantung, paru-paru dan sejenisnya.
Astaghfirullah. Subhanallah. Saat itu, saya rasanya mau mati. Demi Allah. Alhamdulillah, rupanya Allah masih mengizinkan saya untuk hidup, untuk bernafas.
Ketika mengalami sesak nafas, berjuta bayangan menari-nari di benak saya. Ada yang berkelebat menunjukkan dosa-dosa saya, dan ada juga sekelumit yang memperlihatkan kebaikan-kebaikan saya. Dan saya sadar, benar-benar sadar, sangat dekat dengan maut.
Ketika perlahan nafas melambat, berjuta tanya dalam benak saya : "inikah saatnya?", "oh, rasanya begini?", "wah, lha mbok jangan sekarang", "aduh sakiiit", "saya belum siap"... Lalu kemudian gelap.
Kepanikan melanda saya dan suami pada waktu itu. Apalagi kejadian tersebut di dalam mobil yang sedang melaju kencang di tengah jalan tol pada waktu sore hari yang tentu saja dalam keadaan macet. Tengok kanan kiri, tidak ada yang bisa membantu. Kami pun minggir di tepi jalan tol. Pak polisi dan petugas patroli pun tidak banyak membantu. Mereka pasti juga bingung apalagi melihat saya klojotan sambil memegangi leher.
Walhasil, atas bantuan pak polisi, mobil kami berhasil keluar dari jalan tol. Keadaan masih sangat panik dan mencekam. Jalanan pun macet sangat total, tidak bergerak. Begitupun motor. Tiba-tiba, karena saking paniknya, saya mencegat seseorang pengendara motor yang tidak saya kenal. Saya langsung membonceng dan mengatakan bahwa saya dalam keadaan sesak nafas, tolong antar saya ke RS terdekat.
Untuk kesekian kalinya saya kesenggol maut. Bayangkan saja, dalam keadaan sesak nafas akut, rawan bagi saya untuk pingsan, dan memang saya sangat menahan keadaan itu. Karena saya sadar, kalau terjadi, saya pasti akan terjatuh dari motor. Kemudian, kalau saya terjatuh, badan saya pasti akan tertabrak dan terlindas kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di jalanan, dan akhirnya saya akan menjadi "mayat tak dikenal" karena saya tidak membawa identitas apapun. Astaghfirullah... dan kemudian saya pingsan beneran setelah sampai di UGD Medistra...
Kisah diatas betul-betul saya alami dan sampai menimbulkan trauma yang sangat besar. Hingga saat ini, saya trauma naik mobil di jalan tol dan saya sangat ketakutan melihat kemacetan.
Kalau seandainya Allah benar-benar mencabut nyawa saya pada saat itu...
Alhamdulillah, saya masih diberi kesempatan untuk lebih mengingatNYA, untuk lebih banyak berbuat baik, menjaga sholat, berbuat amal kebajikan, selalu berdzikir, mengurangi maksiat dan sebagainya.......

02 Juni 2008

Mencari Ikhlas (sebuah refleksi dari perjalanan umroh...)

Dear All...
Alhamdulillah bisa posting lagi secara beberapa waktu bealakangan ini, saya sangat (sok) sibuk. Dan mohon ma'af kalo saya baru sempat share oleh-oleh umroh sekarang.
Alhamdulillah, perjalanan umroh saya kemaren, lancar dan penuh berkah, berkat do'a semuanya. Saya menemani ibu dan kakak, dan kebetulan juga (Alhamdulillah) jama'ah berjumlah lumayan banyak (47orang). Status saya sih sebenernya hanya sebagai penggembira saja untuk para jama'ah. Kan 'Sampoerna Hijau, Nggak Ada Loe Nggak Rame'....
Sebenarnya ada sesuatu yang masih mengganjal pada diri saya, soalnya kenapa saya tiba-tiba umroh. Rencana tersebut pada awalnya, niatnya nemenin para ustadz syuyukh yang akan dauroh di Mesir. Tapi berhubung terganjal urusan visa dan financial, saya batalkan mendampingi mereka ke Mesir. Dan, seharusnya juga saya membatalkan umroh, tapi kok kenapa saya tetap berangkat umroh juga. Sure, mungkin suami saya juga bingung, kenapa kog saya tiba-tiba berangkat umroh (yang harusnya tidak jadi karena para ustadz juga tidak jadi umroh)...
Just to let u know, bahwa setiap umroh, saya selalu mempunyai TEMA dan TARGET apa yang akan saya capai setelahnya. Untuk umroh kali ini SAYA MENCARI IKHLAS... Kebetulan ibu saya bersedia untuk ikut dalam umroh kali ini. That's it, ini merupakan jalan saya/media saya agar saya bisa MENEMUKAN IKHLAS yang selama ini saya cari-cari.
Ikhlas dalam hal ini, saya tujukan bukan dalam artian materi. Bukan... Alhamdulillah, selama masih diberi rezeki oleh Allah, saya tidak itungan untuk memberi (dalam bentuk materi) dalam bentuk zakat, infaq, sodaqoh. Saya ikhlas untuk masalah yang begituan.
Ikhlas yang ingin saya temukan adalah IKHLAS DALAM PERBUATAN. Sampai saat sebelum saya umroh, saya masih belum ikhlas kalau ada yang menyakiti saya, berbuat yang tidak baik terhadap pondok (secara hati saya udah nyangkut sama pondok ini), orang-orang yang tidak mendukung pondok, mbalelo, angel dikandani dll... Pasti, pasti saya akan NGAMUK bagaimanapun caranya bila menjumpai hal itu. Beda banget sama suami saya yang sangat tenang dalam menjumpai dan menghadapi permasalahan yang ada.
Dan, saya uji keikhlasan -dalam perbuatan- dengan mendampingi ibu saya kemaren pada waktu umroh. Saya terkenal tidak telaten untuk mengurus hal-hal ribet yang menyangkut ibu saya (mendorong kursi roda, mengganti perban lukanya, memakaikan kaos kaki dll), mengingat saya sudah 'terpisah' dari beliau sejak lulus SMP. Kakak dan adik-adik saya yang setiap hari mendampingi ibu, juga langsung memvonis bahwa saya tidak akan telaten ngurusi ibu.
Tetapi, apa yang terjadi...
Pada hari Jumat pertama di Madinah, saat itu ibu saya sangat ingin untuk sholat Jum'at di Masjid Nabawi. Padahal keadaan sangat panas dan waktu kurang dari 1 jam menjelang Jum'atan. Saya sudah sangat pesimis untuk mendapatkan tempat di dalam masjid (mengingat ibu saya menggunakan kursi roda dan perlu pintu khusus). Ternyata benar... kami tidak bisa masuk dan terhenti di pintu masuk. Saya sedikit agak gusar, bagaimana ini, ibu enak bisa duduk di kursi roda, lha saya? ngalamat harus berdiri...
TIBA-TIBA, seorang perempuan Maroko yang duduk di depan saya, mengambil sajadah saya dan menggelarnya disamping kursi roda ibu, dan orang Maroko tersebut lebih memilih berdiri. Dengan menggunakan bahasa inggris patah-patah, dia menyatakan bahwa 'you are able to seat beside yor mom and i will stand up to hear the khatib'. SAYA MENANGIS.............
Dan ketika hendak keluar selesai sholat Jum'at, orang berdesak-desakan karena pintu masuk khusus untuk wheelchair. Kaki saya udah kesenggol kursi roda yang lain, dan badan saya terpental gak karuan menahan ibu. Kursi roda ibu saya tidak bisa maju dan mundur karena penuh sesaknya orang. Ketika saya bilang bahwa saya mau keluar, orang-orang malah pada bilang "ruh dakhiil ruh dakhiil", karena memang posisi kursi roda ibu menghadap ke pintu masuk.
Sekali lagi TIBA-TIBA, dua orang perempuan kulit hitam, menarik dan mengangkat kursi roda ibu saya sehingga menghadap ke pintu keluar dan mereka menghalau orang-orang di depan saya agar menyingkir karena kursi roda mau lewat. SEKALI LAGI SAYA MENANGIS........
Siapa mereka???, Malaikat kah???. Ibu pun memeluk saya, dan mengingatkan bahwa 'MEREKA MENGGAMBARKAN IKHLAS YANG SEDANG KAMU CARI'.... dan untuk kesekian SAYA MENANGIS...
Dalam artian begini ; siapa saya ke mereka?, teman bukan, sodara bukan, kenal aja enggak... lha kok mau-maunya memberi kemudahan kepada saya?. TERUS, SAYA KEMANA AJA???... Sementara saya hidup di lingkungan yang mengenal, menyayangi, melindungi, mengasihi saya, KOK SAYA NGGAK MAMPU BERBUAT SEPERTI ITU? KOK SAYA MASIH NGGAK BISA IKHLAS BERBUAT???, KEMANA AJA SAYA SELAMA INI???.........
Sering saya berdo'a : "allahumma habbib ilayya al iimaan wa zayyinhu fii qolbii, wa karrih ilayya al kufro wal fusuuqo wal 'ishyaan, waj'al lii minarroosyidiin..." Tapi kok 'si Rosyid' nggak nyampe-nyampe ke saya. Malah justru 'si Ishyan' yang sering berkelebat dalam hati saya, dan itu yang menyebabkan saya sering su'udzon dan akhirnya nggak ikhlas...
Well... semoga apa yang saya cari selama ini, bisa saya dapatkan dan secepatnya bisa diaplikasikan dalam kehidupan, mengingat bahwa saya selalu dikelilingi oleh berbagai masalah yang menuntut keikhlasan saya...

Tulus

Beberapa minggu yang lalu, saya menyempatkan mudik untuk menjenguk adik saya yang baru melahirkan. Berbondong-bondong sanak family, kerabat, rekan kerja, teman sejawat, teman sepermainan, tetangga, baik tua maupun muda, silih berganti untuk menjenguk new baby born.
Ada yang sekedar membawa sekantong keripik pisang, sekaleng biskuit, perlengkapan bayi, sampai sekantong detergent dan pewangi baju bayi. Wajah para penjenguk pun menyiratkan kegembiraan dan bergantian mengucapkan selamat ke orang tua si bayi.
Ada yang menarik buat saya, untuk apa mereka datang silih berganti, padahal ada yang hanya bersatus teman&tetangga, tidak ada hubungan darah maupun ikatan keluarga. Ya, walaupun tidak ada ikatan apa-apa, tapi mereka datang secara TULUS. Saya yakin, tidak ada maksud tertentu atas kedatangan mereka, hanya karena merasa kenal dan juga ikut merasakan suka cita atas kehadiran anggota baru.
TULUS... itu yang TIDAK PERNAH saya jumpai lagi sejak saya meninggalkan kampung halaman, semenjak saya jadi istri 'seseorang', dan semenjak saya hidup di kota metropolitan. Arti kata TULUS yang sebenarnya, sudah hilang dari kehidupan saya. Dan saya sangat sadari itu.
Sering orang bilang : "TULUS IKHLAS". Bagi saya, dua kata tersebut sangat berbeda maknanya walaupun seringkali diucapkan secara bergandengan. TULUS adalah, memberi atau menerima sesuatu TANPA PAMRIH, TANPA MENGHARAPKAN balasan. Dan tulus tercipta dari IKHLAS. Sedangkan IKHLAS adalah, memberi atau menerima sesuatu secara sadar yang timbul dari dalam hati.
SO?...
Sudah jarang sekali saya menjumpai orang-orang yang tulus itu. Mereka ikhlas, tapi belum tentu tulus. Banyak sekali pemberian-pemberian yang selama ini saya terima. Alhamdulillah semua itu rezeki saya. Tapi, saya juga bingung ketika 'si A' memberikan sesuatu kepada saya (barang atau jasa), pasti dibelakangnya ada maksud tertentu yang ditujukan untuk saya maupun suami. "Titip anak saya ya Bu, Pak". Itu kata-kata yang sering saya dengar. Apalagi, status dan posisi saya sangat mendukung untuk dibegitukan.
Kadang saya kangen untuk 'tidak menjadi siapa-siapa'. Karena terus terang, menerima sesuatu tanpa ketulusan dari si pemberi, sangat membebani.
Nikmat sekali hidup ini apabila setiap orang dapat memahami dan mengerti arti kata TULUS yang sesungguhnya.....

Sikap tidak pernah puas

Pada awalnya hati manusia memang susah untuk merasa puas. Walaupun sudah memiliki sepuluh peti emas, seseorang itu masih mau lagi yang kesebelas. Apabila dia sudah mempunyai sebelas peti emas dia mau lagi yang keduabelas dan begitulah seterusnya.
Baikkah sikap seperti ini?. Dari aspek motivasi, tidak ada salahnya. Sebab bersikap maju merupakan sikap yang diperlukan untuk menjadi kaya dan karena Islam tidak pernah menghalangi umatnya menjadi kaya. Dengan alasan dengan adanya harta yang banyak memudahkan seseorang itu menyalurkan sebagian daripadanya ke jalan-jalan kebaikan.
Jadi, dalam mengarungi kehidupan, tidak salah seseorang itu bermewah-mewah asalkan kemewahan tidak menjadikan seseorang lupa untuk tujuanagama. Meskipun sederhana itu lebih dituntut, namun bermewah-mewah dalam ruang lingkup yang dibenarkan, berusaha sesuai dengan kehidupan sekarang.
Memang, kadang-kadang penilaian dan penghormatan manusia terhadap kita bergantung kepada apa yang kita punya, pangkat yang kita sandang, mobil apa yang kita miliki, seberapa besar rumah yang kita tempati, kawasan mana kita tinggal, keahlian apa yang kita punya dan sebagainya.. .
Kehidupan kapitalisme dan materalisme sekarang telah meletakkan apa yang kita miliki sebagai asas penghormatan manusia terhadap kita. Maka tidak salah kalau kita memiliki segala-galanya asalkan kita tidak lupa diri, tidak berubah dan masih meletakkan TUHAN sebagai Pemilik kehidupan.
Ujian paling berat bagi seorang yang kaya ialah ; jatuh miskin atau kehilangan hartanya yang paling disayangi. Ketika inilah kesabaran akan diuji. Kalau tadi Islam membenarkan sikap tidak puas sebagai pendorong untuk manusia terus berusaha, sekarang Islam melarang sikap tidak puas hati karena ditimpa ujian. Sikap yang patut ditunjukkan ialah bersyukur kepada ALLAH karena memberi peluang untuk memperbaiki diri. Setiap ujian tentunya beralasan.
Dalam menjalani ujian dengan baik, kekurangan harta maupun yang melibatkan kehidupan, tidak ada perkataan lain yang boleh diucapkan melainkan 'Sabar' dan 'Ridha'. Hanya dua perkataan inilah yang bisa menyelamatkan seseorang dari murkai ALLAH. Dimurkai berarti berdosa, dan dosa kalau tidak dibasuh dengan taubat, jawabannya Neraka. Di antara tanda bersyukur ialah sentiasa sabar dan teguh iman menerima ujian ALLAH.
Sikap yang berlawanan dengan ini ialah sifat tamak untuk memiliki semuanya sampai mengambil hak orang lain. Orang begini akan semakin kufur apabila diberi nikmat, apalagi tatkala ditimpa musibah. Dia akan mudah menyalahkan takdir dan menyalahkan TUHAN. Ingat janji ALLAH, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti KAMI akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Ibrahim, 7).
Bandingkan dengan kita, baru memiliki harta sedikit saja sudah merasakan tidak berpijak di bumi ALLAH. Kadang-kadang hanya karena sebuah mobil yang belum bisa dikatakan 'mewah', kita sudah sombong. Ingatlah kekayaan ALLAH menyangkut apa yang ada di bumi dan di langit.
Jadi, marilah kita pandai-pandai mensyukuri nikmat yang telah diberikan ALLAH kepada kita.